Pemberontakan DI/TII – Setelah kemerdekaan, banyak terjadi pemberontakan di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya pemberontakan DI/TII.
Pemberontakan DI/TII terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan juga Kalimantan Selatan.
Pengertian DI/TII
Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) atau DI/TII adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa di Tasikmalaya.
NII atau Negara Islam Indonesia juga diproklamasikan ketika Negara Pasundan dibuat oleh Belanda dan mengangkat Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema, yang juga sebagai presiden atau pemimpin di Negara Pasundan tersebut.
Baca Juga : Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Latar Belakang Dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Darul Islam (DI) atau disebut juga dengan Negara Islam Indonesia (NII) merupakan salah satu insiden yang terjadi setelah Indonesia merdeka. Munculnya aksi pemberontakan ini disebabkan karena kekalahan Indonesia dalam Perjanjian Renville dari pihak Belanda yang mengharuskan Tentara Indonesia meninggalkan Jawa Barat. Aksi pemberontakan ini tidak hanya terjadi di Jawa Barat tapi telah meluas ke berbagai provinsi yang ada di pulau Jawa bahkan menyebar ke luar pulau Jawa.
Gerakan Darul Islam tidak luput dari peran pemimpinnya yang bernama R. M. Kartosuwiryo, ia juga berperan sebaga Imam dan Presiden NII. Sebelum perang Kartosuwiryo adalah seorang politikus yang dihormati terutama di Partai Serikat Islam Indonesia yang memiliki sifat fanatik pada agama dan pandangan tentang politik hijrah.
Walaupun pemberontakan DI/TII didominasi mantan gerilyawan perang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan mereka disatukan dibalik bendera NII dan menerima hasutan dari sang pemimpin pemberontakan yang mengatakan ke mantan gerilyawan dan rakyat, terutama yang ada di Jawa Barat bahwa Tentara Nasional telah meninggalkan mereka disaat mereka masih butuh perlindungan dari jajahan Belanda terutama pada saat Perjanjian Renville ditanda tangani dimana Amir Syariffudin sebagai perwakilan dari pihak Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1949 di sebuah Kabupaten di Tasikmalaya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia sudah berdiri di Indonesia. Dimana gerakannya disebut dengan Darul Islam sedangkan para tentaranya disebut Tentara Islam Indonesia. Gerakan DI/TII dibentuk ketika provinsi Jawa Barat telah ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang kemudian hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam rangka menjalankan perundingan Renville.
Pada saat Pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII dengan leluasa melakukan gerakannya dengan cara merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan di kereta api, dan juga menyiksa serta merampas harta benda yang dimiliki penduduk di daerah itu. Namun saat Pasukan Siliwangi membuat jadwal untuk kembali ke Jawa barat, kelompok DI/TII juga berhadapan dengan Pasukan Siliwangi.
Kerusuhan ini terus berlanjut hingga tahun 1961, jumlah korban semakin banyak dan aksi yang dilayangkan baik dari pemberontak ataupun Tentara Indonesia. Aksi memerangi Darul Islam semakin sulit karena pihak pemberontak berhasil membentuk Tentara Islam dan Angkatan Bersenjata Islam sebagai penjaga keamanan juga senjata utama untuk melawan Indonesia.
Akhirnya pada tahun 1962 Kartosuwiryo tertangkap dan dihukum mati. Hal tersebut menjadi awal Negara Islam terutama di Jawa Barat runtuh. Tapi, gerakan darul islam ini dinyatakan masih ada setelah 15 tahun.
Tujuan pemberontakan DI/TII atau Negara Islam Indonesia (NII) adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara, yang menerapkan dasar negara Islam sebagai dasar negaranya. Di dalam proklamasi juga tertulis Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum islam. Lebih jelasnya, tertulis di dalam undang-undangnya, yaitu Negara Berdasarkan Islam sedangkan Hukum tertinggi adalah Al-quran dan Hadist. Proklamasi Negara Islam Indonesia atau NII menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban negara adalah membuat undang-undang berdasarkan pada syariat islam dan juga menolak keras ideologi terhadap ideologi selain alquran dan hadist atau yang sering disebut kafir oleh mereka.
Kronologi Pemberontakan DI/TII
Tujuan Gerakan DI/TII adalah menjadikan Republik Indonesia menjadi negara teokrasi dengandasar negaranya adalah agama Islam . Mereka menyatakan “Hukum dalam NII adalah Hukum Islam”, hal ini tertuang dalam undang-undang yang mereka buat yang menyatakan bahwa negara berlandaskan Islam dengan Al Quran dan Hadits sebagai hukum tertinggi.
Secara tegas Negara Islam Indonesia menyatakan bahwa kewajiban negara untuk melahirkan undang-undang yang berdasarkan syariat Islam, dan menolak keras pada ideologi yang mereka sebut hukum kafir atau ideologi yang tidak sesuai dengan ketentuan Alquran dan Hadits Shahih,
Darul Islam semakin meluas ke beberapa wilayah, terutama Jawa Barat hingga wilayah perbatasan Jawa Tengah; Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo tertangkap oleh Tentara Indonesia dan dihukum mati pada tahun 1962 membuat pemberontakan ini terpecah, tapi diam-diam gerakan ini masih ada walaupun pemerintah menganggapnya sebagai organisasi terlarang.
Penyebab Pemberontakan DI/TII
Penyebab umum terjadinya pemberontakan DI/TII, antara lain:
- Kehampaan kekuatan di Jawa Barat.
- Kartosuwirjo dan juga rakyat keberatan apabila Jawa Barat diberikan begitu saja pada pihak belanda.
- Merasa tidak puas dengan keputusan dari perjanjian yang dibuat dengan pihak Belanda yang mengharuskan TNI meninggalkan daerah kantong dan masuk ke wilayah RI.
Penyebab khusus pemberontakan DI/TII, antara lain:
Pihak Indonesia meneken perjanjian dengan pihak Belanda yang disebut perjanjian renville dimana dalam perjanjian itu para Tentara Indonesia harus mengosongkan Jawa Barat lalu hijrah ke Jawa Tengah. Kartosuwirjo menganggap bahwa itu adalah bentuk pengkhianatan yang dilakukan Pemerintah pada perlawanan yang telah dilakukan rakyat Jawa Barat. Hal ini juga disebabkan karena ada sejumlah komandan TNI yang berjanji meninggalkan semua senjata pada saat mereka hijrah mereka di Jawa Barat.
Dengan pengikutnya yang berjumlah sekitar 2000 yang meliputi laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwirjo tidak mau pindah dan mulai mendirikan Negara Islam Indonesia.
Baca Juga : Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Jalannya Pemberontakan DI/TII
Ada beberapa pemberontakan di/tii di Indonesia, diantaranya yaitu:
Pemberontakan DI/TII Jawa Barat
Awal mula terjadinya gerakan DI/TII di Jawa Barat disebabkan karena penandatanganan Perjanjian Renville yang dilakukan pada 17 Januari 1948. Bersama pasukannya yang berjumlah sekitar 4000 orang, S.M. Kartosuwiryo membangun Darul Islam (DI), Kartosuwiryo menolak hijrah ke Jawa Tengah bersama pasukannya dan tidak menganggap keberadaan RI lagi dan tujuannya yaitu untuk melawan penjajahan Belanda di Indonesia.
Setelah semakin kuat, pada 17 Agustus 1949 S.M.Kartosuwiryo menyatakan Negara Islam Indonesia secara resmi berdiri di Desa Cisayong, Jawa Barat dan nama tentaranya adalah Tentara Islam Indonesia (TII) dan banyak rakyat menjadi korban. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan, mereka bekerja sama dengan rakyat sekitar lalu dijalankan strategi perang yang baru yang disebut Perang Wilayah. Operasi penumpasan gerakan DI/TII digencarkan pada 1 April 1962 dan operasi itu disebut dengan Operasi Bharatayuda.
Pada 4 juni 1962 dengan menggunakan taktis Pagar Betis, pasukan siliwangi berhasil menangkap Kartosuwiryo dan pengikutnya di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kartosuwiryo pernah meminta grasi ke Presiden tapi grasi tersebut ditolak lalu pada tanggal 16 Agustus 1962, ia divonis hukuman mati di hadapan regu tembak ABRI.
Tujuan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, diantaranya yaitu:
- Mendirikan negara berlandaskan syariat Islam berupa Al Qur’an dan Hadist di wilayah Indonesia.
- Menolak Perjanjian Renville.
- Mengatasi Dominasi Komunis dan Sosialis.
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dilakukan dibawah pimpinan Amir Fatah dan Kyai Sumolangu yang beroperasi di wilayah Tegal, Brebes dan juga Pekalongan. Pada 1946, inti pasukan pemberontak di Jawa Tengah ini yang disebut pasukan Hizbullah dibuat di Tegal dan pada 23 Agustus 1949, Amir Fatah menyatakan pendirian Darul Islam dan mengungkapkan bergabung dengan DI/TII S.M.Kartosuwiryo. Pasukannya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) dengan sebutan Batalion Syarif Hidayat Widjaja Kusuma(SHWK).
Pada Januari 1950, Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibentuk dibawah pimpinan Letkol Sarbini dan komando ini bertujuan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa Tengah. Pemberontakan di Kebumen dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin Kyai Moh. Mahfudh Abdurrahman (Kyai Sumolanggu). Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro.
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah pernah kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Selain itu, daerah Merapi-Merbabu juga terjadi kerusuhan akibat perbuatan Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC), tapi gerakan ini juga berhasil ditumpas. Untuk menghancurkan gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dijalankan operasi Banteng Raiders.
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dilakukan dibawah pimpinan Kahar Muzakar. dengan latar belakang berbeda dengan pemberontakan DI/TII lainnya. Pada 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirimkan surat kepada pemerintah pusat yang berisi tentang permintaan pembubaran Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan meminta para mantan anggotanya dialihkan ke APRIS. Nyatanya, Ia menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah kepemimpinannya.
Namun karena banyak dari mereka tak memenuhi persyaratan untuk dinas militer maka tuntutan tersebut ditolak. Kemudian, Pemerintah membuat keputusan untuk mengalihkan para bekas gerilyawan tersebut ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Ketika akan diangkat menjadi Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar dan para pengikutnya kabur ke dalam hutan dengan bersenjata lengkap dan menyebabkan kekacauan. Pada tahun 1952, Kahar menyatakan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari NII.
Dibutuhkan waktu sekitar 14 tahun untuk melakukan pemberantasan pada pemberontakan yang dilakukan Kahar Muzakar. Faktor penyebab lamanya penumpasan adalah rasa kesukuan yang ditumbuhkan dan sudah berakar di hati pasukan Kahar Muzakar, selain itu kelompoknya juga memahami sifat rakyat dan menggunakan wilayah yang sudah tidak asing lagi . Pada 3 Februari 1965, dalam gencatan senjata dengan pasukan Indonesia, Kahar Muzakar tewas tertembak.
Pemberontakan DI/TII Aceh
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemberontakan DI/TII di Aceh diantaranya adanya permasalahan independensi, pertentangan antar golongan, serta pembenahan dan pembaruan daerah yang tidak lancar. Sebelumnya, Aceh adalah daerah istimewa tapi kemudian statusnya menjadi Keresidenan di bawah provinsi Sumatera Utara.
Pemimpin gerakan DI/TII di Aceh adalah Tengku Daud Beureueh yang menyatakan bahwa Aceh adalah bagian Negara Islam Indonesia dan memutuskan hubungan dengan Jakarta pada 21 September 1953.
Pemberontakan ini dapat diselesaikan dengan musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang diadakan pada 17-28 Desember 1962 atas inisiatif Pangdam I Bukit Barisan, Kolonel Jasin. Musyawarah ini membahas mengenai permasalah yang dihadapi dan kesalahpahaman yang terjadi, sehingga bisa dimukan titik terang yang membuat keamanan di Aceh pulih kembali.
Tujuan DI/TII di Aceh, antara lain:
- Mengembalikan Otonomi Provinsi Aceh.
- Mencegah Kembalinya Kekuasaan Uleebalang (pemimpin adat dan formal yang berkembang sebelum Indonesia merdeka).
- Penegakkan Syariat Islam.
Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan
Di Kalimantan juga terdapat kelompok pemberontak bernama Kesatuan Rakyat Jang Tertindas (KRJT) dibawah pimpinan Ibnu Hadjar alias Haderi alias Angli yang merupakan seorang mantan Letnan dua TNI. Pada akhir tahun 1950, KRJT melakukan penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan.
Kemudian Ibnu Hadjar menyerahkan dirinya namun setelah ia merasa kuat dan mendapatkan peralatan perang, ia kembali memberontak dengan bantuan Kahar Muzakar dan S.M. Kartosuwiryo.
Pada tahun 1954, Ibnu Hadjar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan. Akhirnya, pada tahun 1959 pemerintah melalui TNI gerakan pemberontakan yang pimpin Ibnu Hadjar berhasil ditumpas dan pada 22 maret 1965, pengadilan militer menjatuhi Ibnu Hadjar hukuman mati.
Tokoh Pemberontakan DI/TII
Berikut beberapa tokoh yang ikut andil dalam pemberontakan di/tii, diantaranya yaitu:
Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)
Sekar Marijan Kartosuwiryo merupakan pendiri Darul Islam (DI) dengan tujuan melawan penjajah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Setelah merasa semakin kuat, pada tanggal 17 Agustus 1949 Kartosuwiryo menyatakan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) dan tentaranya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Operasi militer untuk menumpas gerakan ini disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis, pada 4 juni 1962, pasukan Siliwangi berhasil menangkap Kartosuwiryo di daerah Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat lalu pada tanggal 16 Agustus 1962 ia dihukum mati.
Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)
Ibnu Hadjar merupakan bekas Letnan Dua TNI yang melakukan pemberontakan dan meproklamasikan bahwa gerakan yang dipimpinnya sebagai bagian dari gerakan DI/TII Kartosuwiryo. Pasukan yang dipimpinnya diberi nama Kesatuan Rakyat Yang Tertindas dan pada Oktober 1950 Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan pengacauan. Sebagai upaya penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan Ibnu Hajar dan pasukannya, pemerintah menjalankan berbagai upaya termasuk musyawarah dan operasi militer.
Secara baik-baik, pemerintah memberi kesempatan bagi Ibnu Hadjar untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukannya, lalu ia menyerahkan diri dan ia kembali diterima dalam APRI. Akan tetapi, setelah menerima perlengkapan ia kembali melarikan diri dan meneruskan pemberontakandan pada akhir 1954, ia bergabung dengan Negara Islam.
Setelah bergabung dengan Negara Islam yang didirikan Kartosuwiryo, Ibnu Hajar diangkat sebagai panglima TII wilayah Kalimantan. Dengan perbuatan yang telah dilakukannya, Pemerintah mengambil keputusan untuk bertindakan tegas dalam penumpasan kelompok Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959, pasukan Ibnu Hadjar berhasil ditumpas dan lbnu Hadjar juga berhasil ditangkap. Pemberontakan ini baru berakhir pada Juli 1963. Pada Maret 1965, secara resmi Ibnu Hajar dan pasukannya menyerahkan diri dan pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati pada Ibnu Hajar.
Daud Beureueh (Jawa Tengah)
Teungku Muhammad Daud Beureu’eh merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia, mantan gubernur Aceh sekaligus pendiri NII di Aceh. Selain itu Daud Beureu’eh pernah menjadi ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yaitu organisasi yang dibentuk untuk menentang penjajahan Belanda. Pada saat perang revolusi, ia menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh.
Karena merasa tidak puas dengan pemerintahan Soekarno, Daud Beureu’eh melakukan pemberontakan dengan mendirikan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan tersebut dimulai pada 21 September 1953 dan berakhir pada 9 Mei 1962 setelah mendapat bujukan kembali ke NKRI oleh Mohammad Natsir .
Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan)
Pada awalnya, Abdul Kahar Muzakkar merupakan mantan prajurit TNI dengan pangkat Letnan Kolonel atau Overste. Namun kemudian ia menjadi pemberontak karena ia tidak setuju dengan kebijakan yang diambil presiden Soekarno dengan angkat senjata.
Di awal 1950an, Kahar memimpin para mantan gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara lalu mendirikan Tentara Islam Indonesia lalu mereka bergabung dengan Darul Islam. Pada 3 Februari 1960, Kahar Muzakkar berhasil tertembak mati pad saat Operasi Tumpas di Lasolo yang dilakukan pasukan Siliwangi 330.
Karena pusara milik Kahar Muzakkar tidak pernah ditunjukan, sehingga banyak mantan pengikutnya mempersoalkan atas kebenaran kematiannya. Berdasarkan cerita, jenazahnya dikebumikan di km 1 jalan raya Kendari, Sulawesi Tenggara. Tapi sampai sekarang banyak yang tidak percaya dengan kematian Kahar karena bukti nyatanya belum ada.
Baca Juga : Pengertian EKONOMI
Amir Fatah (Jawa Tengah)
Sebelum terjadi Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah, Amir Fatah Wijaya Kusumah merupakan salah satu pimpinan Hizbullah Fisabilillah di Besuki, Jawa Timur.
Penandatanganan Perjanjian Renville oleh pihak Belanda dan Indonesia mengharuskan semua kekuatan Republik termasuk kesatuan yang dipimpinnya hijrah ke Jawa Tengah.
Pada tahun 1950, Amir Fatah menyatakan menjadi bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. TNI berhasil melemahkan kekuatan pasukan Amir Fatah melalui operasi militer, namun itu hanya sementara, setelah ada pembelot, kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali menguat. Namun akhirnya, pemberontakan ini dapat ditumpas di perbatasan Pekalongan-Banyumas.
Upaya Pemerintah Menumpas DI/TII
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memusnahkan gerakan DI/TII di Jawa Tengah diantaranya melancarkan operasi kilat bernama Gerakan Banteng Negara (GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini pada Januari 1950 (selanjutnya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun lalu Letnan Kolonel A. Yani). Operasi penumpasan pemberontakan DI/TII ini disebut dengan pasukan Banteng Raiders.
Kemudian muncul gerakan pemberontakan di Kebumen yang diperbuat oleh Angkatan Umat Islam dibawah komando Kyai Moh. Mahudz Abdurachman atau yang dikenal dengan “Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan guna memberantas pemberontakan ini.
Selain itu, juga terjadi pemberontakan DI/TII di Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh gabungan Batalyon 426 dan DI/TII pada Desember 1951. Sebagai upaya penumpasan tindakan pemberontakan tersebut, pemerintah melancarkan operasi militer “Operasi Merdeka Timur” dikomando oleh Letnan Kolonel Soeharto .
Demikian pembahasan tentang pemberontakan DI/TII di Indonesia, semoga bermanfaat.