√ Kerajaan Bali : Sejarah, Letak, Raja, Masa Kerayaan, Runtuh dan Peninggalan

Posted on

Sejarah Kerajaan Bali – Kerajaan Bali adalah istilah untuk serangkaian kerajaan Hindu-Budha yang pernah memerintah di Bali, di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut terbagi dalam beberapa masa sesuai dinasti yang memerintah saat itu.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Pajang

Kemungkinan, awalnya Kerajaan Bali bernama Kerajaan Bedahulu yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Gelgel mengambil alih kerajaan dan dilanjutkan dengan kerajaan Klungkung.

Sayangnya, pada masa pemerintahan Kerajaan Klungkung banyak terjadi perpecahan yang mengakibatkan terpecahnya Kerajaan Klungkung menjadi delapan buah kerajaan kecil yang disebut dengan swapraja.

Tidak banyak yang menetahui tentang sejarah Kerajaan Bali, tapi yang pasti kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan pertama yang ada di wilayah Bali.

Kerajaan Bali sendiri berdiri sekitar abad ke 8-14 dan letak kerajaan Bali ini berpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar.

Banyak yang menyebutkan bahwa kerajaan Bali dipimpin oleh salah suatu kelompok bangsawan dengan pimpinannya yang dikenal dengan nama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa.

Sejarah Singkat Kerajaan Bali

Berdasarkan prasasti yang ditemukan, Kerajaan Bali dipastikan didirikan oleh raja-raja dari Dinasti Warmadewa. Raja terkenal Kerajaan Bali adalah Dharmodhayana Warmadewa yang memerintah sejak tahun 989. Ia memimpin kerajaan bersama permaisurinya yang bernama Mahendradatha atau Gunapriyadharmaptani hingga tahun 1001.

Permaisuri wafat dan diabadikan dalam sebuah candi yang terletak di Desa Berusan tepatnya ada disebelah tenggara Bedulu. Arca tersebut merupakan perwujudan dari Durga yang ditemukan di daerah Kutri (Gianyar). Sedangkan, raja Dharmodhayana Warmadewa tetap memrintah kerajaan hingga tahun 1011 Masehi lalu wafat serta dicandikan di Banu Wka yang hingga saat ini keberadaannya belum diketahui.

Dalam perkawinan antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahir tiga orang putra bernama Airlangga, lalu menikah dengan seorang putri Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa, Marakata dan Anak Wungsu.

Setelah ayahnya wafat, tahta kerajaan diturunkan pada seorang pangeran bernama Marakata yang memiliki gelar Dharmodhyana Wangsawardhana Marakata Panjakasthana Uttunggadewa yang memerintah pada tahun 1011-1022.

Karena perhatiannya yang sangat besar terhadap rakyatnya, kehadiran beliau sangat dihormati di daerah kerajaan bahkan karena sikapnya , ia sering kali dianggap sebagai penjelmaan dari kebenaran hukum.

Sebagai bukti perhatiannya pada rakyat kerajaan, beliau membangun sebuah tempat pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang letaknya berdekatan dengan Istana Tampak Siring. Bangunan tersebut memiliki ciri yang unik yaitu pahatan yang berada di batu gunung berbentuk menyerupai candi serta bagian dasarnya terdapat gua pertapaan.

Sampai saat ini, bangunan pertapaan tersebut masih dilestarikan dengan baik dan menjadi salah satu objek wisata di Bali yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Setelah Marakata wafat, tahta kerajaan diturunkan kepada putranya yang bernama Anak Wungsu yang memerintah pada tahun 1049-1077.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Samudera Pasai

Saat masa pemerinatahan Anak Wungsu, ia meninggalkan 28 buah prasasti yang merupakan prasasti terbanyak daripada raja-raja yang sempat memerintah sebelumnya. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan lalu ia wafat dan didharmakan di daerah Gunung Kawi. Pada tahun 1430, Kerajaan Bali yang saat itu dipimpin oleh Raja Dalem Bedaulu, kerajaan jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit.

Sumber Sejarah Kerajaan Bali

Sumber sejarah kerajaan Bali dari beberapa berita Jawa dan juga prasasti di Bali, seperti:

  • Prasasti Sanur. Dalam prasasti ini menunjukkan adanya kekuasaan raja-raja dari Wangsa atau Dinasti Warmadewa.
  • Prasasti Calcuta, India (1042). Dalam prasasti ini dikemukakan tentang asal-usul Raja Airlangga yang merupakan keturunan raja-raja Bali,
  • Dinasti Warmadewa. Raja Airlangga lahir dari hasil perkawinan Raja Udayana dari Kerajaan Bali dengan Mahendradata (putri Kerajaan Medang Kamulan adik raja Dharmawangsa)
  • Komplek Candi Gunung Kawi (Tampak Siring). Ini merupakan makam dari raja-raja Bali. Komplek candi ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu.

Berita yang cukup mengenai Pulau Bali adalah prasasti yang berangka 881 M. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali Kuno. Ada juga prasasti yang tertulis dalam bahasa Sanskerta. Pada abad ke- 11 sudah ada berita dari Cina yang menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali).

Berita Cina tersebut menyebutkan bahwa adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan masyarakat Ho-ling (Kalingga). Penduduknya menulis di atas daun lontar. Jika orang meninggal, mulutnya dimasukan emas lalu dibakar. Adat semacam ini masih berlangsung di Bali. Adat tersebut dinamakan “Ngaben”. Salah satu keluarga terkenal yang memerintah Bali adalah Wangsa Warmadewa.

Hal tersebut bisa diketahui dari Prasati Blanjong berangka 914 ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur, Denpasar, Bali. Isi tulisannya mengenai Nagari (India) dan sebagian berbahasa Sanskerta. Diberitakan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Khesari Warmadewa. Pada tahun 915, Khesari Warmadewa digantikan Ugrasena.

Raja Kerajaan Bali

Berikut beberapa silsilah raja kerajaan bali, diantaranya:

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Gowa Tallo

Raja Dinasti Warmadewa

Berdasarkan prasasti Blanjong yang berangka tahun 914, Raja Bali pertama adalah Khesari Warmadewa. Istananya berada di Singhadwalawa. Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena (915-942) dan istananya berada di Singhamandawa. Masa pemerintahannya bersamaan dengan masa Mpu Sindok di Jawa Timur. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti, salah satunya prasasti Bobahan I. Setelah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena dicandikan di Air Mandatu dan digantikan oleh raja-raja yang memakai gelar Warmadewa (dinasti Warmadewa).

Raja pertama dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa (955-967 M) bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Sebagai penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja Jayasingha Warmadewa adalah raja yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah hingga tahun 975 M.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975-983 M. Tidak ada keterangan lain yang bisa diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah. Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983-989 M).

Sri Wijaya Mahadewi kemudian digantikan oleh Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur karena namanya ada dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga ia mangkat pada tahun 1011 M lalu ia dicandikan di Banuwka. Dalam prasasti Air Hwang (1011) hanya menyebutkan nama Udayana dan dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Raja Udayana memiliki tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh sebab itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata.

Setelah naik tahta, Marakata mendapat gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011-1022. Masa pemerintahan Marakata bersamaan dengan Airlangga. Karena adanya persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, seorang ahli sejarah bernama Stuterheim, berpendapat bahwa Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Terlebih jika dilihat dari kepribadian dan cara memimpin yang memiliki kesamaan. Oleh rakyatnya, Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu dilindungi dan memerhatikan rakyat. Ia sangat disegani dan ditaati oleh rakyatnya. Persamaan lain antara Marakata dengan Airlangga adalah Marakata juga membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring, Bali.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Ternate

Setelah pemerintahannya berakhir, Marakata digantikan oleh Raja Anak Wungsu yang bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun yaitu dari tahun 1049-1077. Ia dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Ia wafat pada tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi, Tampaksiring. Berakhirlah dinasti Warmadewa.

Raja Setelah Dinasti Warmadewa

Setelah pemerintahan dinasti Warmadewa berakhir, Bali diperintah oleh beberapa raja diantaranya yaitu:

Jayasakti

Jayasakti memerintah kerajaan Bali dari tahun 1133-1150 M, satu zaman dengan pemerintahan jayabaya di Kediri. Saat memerintah, Jayasakti dibantu oleh penasehat yang terdiri dari senopati dan pendeta baik agama Hindu dan juga Buddha.

Kitab undang-undang yang digunakan adalah kitab Utara Widhi Balawan dan kitab Rajawacana. Kitab tersebut merupakan eninggalan kebudayaan dari masa pemerintahan Jayasakti yang cukup tinggi. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan penerusnya. Dari prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasakti, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Pada saat itu, aliran Waisnawa juga berkembang. Raja Jayasakti disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.

Ragajaya

Ragajaya memerintah kerajaan Bali pada tahun 1155 M, tapi kapan berakhirnya masa pemerintahannya tidak diketahui karena tidak ada sumber tertulisnya.

Jayapangus (1177-1181)

Raja jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka akibat lalai menjalankan ibadah. Raja ini memerima wahyu dari dewa untuk mengajak rakyat kembali melakukan upacara keagamaan yang sampai saat ini dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang digunakan adalah kitab MAna Wakamandaka.

Ekajalancana

Ekajalancana memerintah kerajaan Bali sekitar tahun 1200-1204 M. Dalam memerintah, Ekajalancana dibantu oleh ibunya yang bernama Sri Maharaja Aryadegjaya.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Malaka

Sri Asta Asuratna Bumi Banten

Sri Asta Asuratna Bumi Banten diyakini sebagai raja Bali yang terakhir. Setelah itu, Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali

Masyarakat Bali menitikberatkan kegiatan ekonomi meraka pada sektor pertanian. Hal tersebut didasarkan pada prasasti Bali yang memuat mengenai hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam, seperti istilah sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang) dan kasuwakan (irigasi).

Selain bertani, masyarakat Bali juga memiliki kegiatan ekonomi sebagai:

  • Pande (Pandai atau Pengrajin). Mereka yang memiliki kepandaian untuk menciptakan pelengkap dari materi emas dan perak, menciptakan peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.
  • Undagi. Mereka yang memiliki kepandaian memahat, melukis, dan menciptakan bangunan.
  • Pedagang. Pada masa Bali Kuno, pedagang dibedakan menjadi pedagang pria (wanigrama) dan pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau (Prasasti Banwa Bharu).

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Bali

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang telah berkembang di Bali sudah bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata yaitu bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukan Syiwa, tapi Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa.

Selain itu, masyarakat Bali juga mengenal dewa setempat, seperti dewa air dan dewa gunung (di Jawa sejajar dengan Grama Desa). Di bawah desa, mereka juga memuja roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur disebut Pitra Yodnya.

Dahulu candi digunakan sebagai tempat suci. Namun sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura.

Pada saat upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara tersebut misalnya, diadakan pada hari Kuningan (hari turunnya dewa dan pahlawan), pada hari Galungan (menjelang Tahra dan Saka), dan hari Saraswati (pelindung kesusastraan).

Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem dan bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kematian. Sedangkan untuk keluarga raja dibuatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan.

Di Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan saja. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Upacara ngaben adalajh budaya pembakaran mayat atau tulang surga.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Pembakaran mayat merupakan suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali “ngaben”. Roh yang sudah menjalani upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, tapi pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau Meru beratap dua.

Masyarakat Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut jaba, yaitu anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Setiap golongan memiliki tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus seperti pande besi, pande emas, dan pande tembaga. Mereka bertugas membuat alat pertanian, alat rumah tangga, senjata, perhiasan, dan lain sebagainya. Hubungan dengan Jawa sudah ada sejak zaman pemerintahan Udayana dan Gunapriya, dibuktikan dengan adanya prasasti raja Bali yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Kehidupan Beragama Kerajaan Bali

Masyarakat Bali banyak terpengaruh oleh kebudayaan India, terutama Hindu. Hingga saat ini, masyarakat Bali masih banyak yang menganut agama Hindu. Akan tetapi, agama Hindu yang mereka anut telah bercampur dengan budaya masyarakat asli Bali sebelum Hindu.

Masyarakat Bali sebelum Hindu adalah kelompok masyarakat yang terikat oleh hubungan keluarga dan memuja roh-roh nenek moyang yang dianggap bisa menolong dan melindungi kehidupan keluarga yang masih hidup. Melalui proses sinkretisme tersebut, lahir agama Hindu Bali yang bernama Hindu Dharma.

Masa Kejayaan Kerajaan Bali

Pada masa pemerintahn Dharma Udayana, sistem pemerintahan Kerajaan Bali semakin jelas. Perkawinan antara Dharma Udayana dengan Mahendradata yang merupakan putri dari raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, sehingga kedudukan Kerajaan Bali semakin kuat.

Masa Keruntuhan Kerajaan Bali

Dikisahkan, saat itu seorang raja Bali bernama Raja Bedahulu atau yang dikenal dengan nama Mayadenawa memiliki seorang patih yang sangat sakti bernama Ki Kebo Iwa.

Kedatangan Gadjah Mada dari kerajaan majapahit ke Bali adalah ingin menaklukan Bali di bawah pimpinan Kerajaan Majapahit, tapi karena tidak mampu patih Majapahit mengajak Ki Kebo Iwa ke Jawa dan disana Kebo Iwa disuruh membuat sumur dan setelah sumur tersebut selesai Ki Kebo Iwa di kubur hidup-hidup dengan tanah dan batu lalu dalam lontar Bali Ki Kebo Iwa tidak bisa dibunuh dengan cara yang mudah seperti itu.

Tanah dan batu yang dilemparkan ke sumur balik dilemparkan ke atas. Akhirnya, ia menyerahkan diri hingga ia merelakan dirinya untuk dibunuh baru ia bisa dibunuh. Setelah kematian Ki Kebo Iwa, Bali bisa ditaklukan oleh Gadjah Mada pada tahun 1343.

Baca Juga : Peninggalan Kerajaan Demak

Peninggalan Kerajaan Bali

Berikut ini beberapa peninggalan kerajaan Bali yang menjadi sumber sejarah kerajaan Bali yang berupa prasasti, pura dan candi, diantaranya yaitu:

Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjongan atau Prasasti Belanjongan adalah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua mengenai pulau Bali. Dalam prasasti ini disebutkan kata Walidwipa yang merupakan sebutan Pulau Bali. Prasasti blanjongan bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.

Prasasti Blanjong ditemukan di dekat Banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Bentuk prasasti ini berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.

Candi Padas di Gunung Kawi

Letak candi gunung kawi atau candi tebing kawi berada di Sungai Pakerisan, Dusun Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia.

Candi gunung kawi ini sangat unik karena biasanya candi berupa batuan utuh yang terbuat dari bata merah atau batu gunung, tapi tidak dengan candi ini. Candi ini berupa pahatan di dinding tebing batu padas ditepi sungai. Nama Gunung Kawi tersebut konon berasal dari kata Gunung dan Kawi. Gunung yang berarti Gunung atau Pegunungan dan Kawi yang berarti Pahatan, jadi candi gunung kawi berarti candi yang dipahat di atas gunung.

Candi Yen Mangenin

Letak Candi Yeh Mangenin berada di Banjar, Sarasada, Desa Tampaksiring. Candi Yeh Mangenin dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal. Candi mangenin didirikan pada lereng tebing sebelah Timur yang merupakan saksi sejarah masa lalu atau bali Kuno (10-13 M)

Baca Juga : Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Pura Tirta Empul

Secara etimologi, Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Sehingga Tirta Empul diartikan sebagai air suci yang menyembur keluar dari tanah.

Letak pura tirta empul berada di desa Tampaksiring Bali. Pura ini dibangun pada tahun 967 M oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura atau Tempat suci ini digunakan untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi, melakukan tapa, brata, yoga, semedi dengan spirit alam sekitarnya.

Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Di sepanjang aliran sungai tersebut terdapat beberapa peninggalan purbakala. Air suci yang ada di pura ini, seperti yang disebutkan dalam purana bali dwipa, berfungsi untuk memusnahkan racun yang disebarkan oleh Mayadenawa. Sehingga Pura Tirta Empul digunakan untuk upacara melukat seperti penjelasan dalam tata cara melukat/meruwat di Pura Tirta Empul, Tampak Siring.

Pura Penegil Dharma

Pembangunan pura penegil dharma ini dimulai pada tahun 915 Masehi yang keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, yaitu salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.

Baca Juga : Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Itulah artikel pembahasan tentang sejarah kerajaan bali. Semoga bermanfaat