√ Pertempuran Medan Area : Latar Belakang, Kronologi, Tokoh dan Dampak

Posted on

Sejarah Pertempuran Medan Area – Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatra Utara. Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan.

Baca Juga : Sejarah Perang Banjar

Latar Belakang Pertempuran Medan Area

Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang dikuti oleh pasukan NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie). Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly menyatakan pada pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai.

Latar belakang pertempuran Medan Area, diantaranya yaitu:

  • Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
  • Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana merah putih.
  • Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
  • Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.

Hampir mirip dengan pertempuran lainnya, pertempuran Medan area diawali dengan kedatangan pasukan Sekutu pada 9 Oktober 1945 di Sumatra Utara. Pasukan tersebut dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D Kelly. Sekutu membawa satu brigade, yaitu Brigade 4 dari Divisi India ke-26. Kedatangan brigade ini turut dibocengi oleh orang-orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang diam-diam dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia.

Pada awalnya, pemerintah RI di Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di kota Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dll. Pejabat Sumatra Utara tidak mengetahui tujuan mereka sebenarnya, tapi semata-mata ingin menghormati tugas mereka untuk mengurus tawanan perang yang ditahan oleh Jepang.

Sebagian anggota Sekutu dan NICA ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda lapangan. Sehari setelah mendarat di Medan, tim dari Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulau Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hassan.

Tanpa disangka, para tawanan perang tersebut justru langsung dibentuk menjadi batalyon KNIL. Perubahan sikap juga langsung tampak dari para bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.

Dalam mengantisipasi kedatangan Sekutu dan NICA, pada 13 September 1945 para pemuda segera membentuk Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di kota Medan.

Sikap congkak dari bekas tawanan tersebut memicu timbulnya berbagai insiden dengan para pemuda Sumatra Utara. Insiden pertama pecah di hotel di Jalan Bali, Medan pada 13 Oktober 1945. Insiden tersebut diawali dengan adanya seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-nginjak lencana merah-putih yang digunakan oleh seorang pemuda. Insiden lencana tersebut menjadi penyebab pertempuran medan area ini dimulai.

Baca Juga : Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda (1873-1904)

Kronologi Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area dimulai dari bentrokan pada tanggal 13 Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana merah putih yang tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina, Jalan Bali (sekarang Jalan Veteran).

Ratusan pemuda yang berada ditempat itu menyerang serdadu tersebut dengan berbagai senjata seperti pedang, pisau, bambu runcing, dan beberapa senjata api. Dalam peristiwa tersebut, banyak memakan korban diantaranya 1 orang opsir yaitu Letnan Goeneberg dan 7 orang serdadu NICA meninggal; beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal; 96 orang serdadu NICA luka-luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 orang wanita. Sedangkan pihak Indonesia gugur 1 orang (menurut prasasti yang didirikan 7 orang) dan luka berat satu orang. Lokasi pertempuran ini berada dekat dengan Pusat Pasar.

Peristiwa yang terjadi di Jalan Bali tersebut segera menyebar ke seluruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara dan menjadi sinyal bagi pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional, akibatnya dengan cepat semangat anti Belanda menyebar di seluruh Sumatera Timur diantara pemuda itu Bedjo, salah seorang pemimpin laskar rakyat di Pulo Brayan.

Pada tanggal 16 Oktober 1945 tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel, Bedjo bersama pasukan selikurnya menyerang gudang senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya lalu menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo Brayan.

Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan yang dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo tersebut telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda Indonesia telah memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas diperhitungkan.

Selain itu, terjadi bentrokan lain di simpang Jalan Deli dan Jalan Serdang (sekarang disebut Jalan Perintis Kemerdekaan). Bentrokan tersebut pecah di sebuah masjid, para pejuang yang dipimpin Wiji Alfisa dan Zain Hamid bertempur dengan tentara Inggris pada 17 Oktober 1945. Mereka berhasil bertahan dari gempuran Inggris hingga pada 20 Oktober 1945, Inggris memutuskan untuk menghancurkan masjid tempat mereka bertahan. Setelah perang, masjid lain dibangun diatasnya untuk mengenang perjuangan mereka. Masjid tersebut diberi nama Masjid Perjuangan 45.

Sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, pada tanggal 18 Oktober 1945 Komandan Inggris Brigadir Jenderal TED Kelly mengeluarkan sebuah ultimatum yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata termasuk senjata tajam seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Semua senjata tersebut harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Untuk para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya pada TKR dan Laskar rakyat, dan harus menyerahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu.

Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan Inggris melakukan penggerebekan dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan tersebutm mereka berhasil mendapatkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik dan 6 tombak.

Baca Juga : Latar Belakang Perang Dunia 1

Sejak para tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris tersebut sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis bahkan ada serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Selain itu, Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi dan Palembang. Akhirnya, kondisi itu menimbulkan konflik bersenjata dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat.

Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Sejak saat itu istilah Medan Area menjadi terkenal. Tindakan pihak Inggris tersebut dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan dan tantangan bagi para pemuda. Pada saat yang bersamaan, Inggris dan NICA melakukan aksi pembersahan terhadap unsur Republik Indonesia yang berada di kota Medan.

Para pemuda membalas aksi Sekutu dan NICA, sehingga konfrontasi juga tidak bisa dihindarkan dan mengakibatkan wilayah Medan menjadi tidak aman. Setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan bahkan seringkali terjadi pertempuran bersenjata.

Pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol yang sudah diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris tersebut tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari kemudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan dan mereka mulai bertindak kasar.

Pada tanggal 6 Desember 1945, tentara Inggris datang mengepung Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di gedung tersebut. Tindakan tentara Inggris itu menyebabkan para pemuda segera mengepung gedung bioskop tersebut sehingga timbul pertempuran kecil dan berakhir dengan tewasnya seorang tentara Inggris.

Beberapa jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentara Inggris. Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentara Inggris melakukan show of force. Tidak lama sesu­dah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentara Inggris. Pada malam harinya para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga gedung itu terbakar.

Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR. Akibat serangan tersebut, pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Inggris/NICA menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan Belawan akan ditembak mati.

Untuk menindaklanjuti intruksi tersebut pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis laskar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Laskar Napindo yang berada di daerah tersebut kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak.

Kemudian, pertempuran berkobar selama dua hari dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Walaupun begitu, pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV dan juga seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang Siantar.

Sejak Komando Militer dan Pemerintahan Republik pindah ke Pematang Siantar, pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Laskar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan tersebut, penduduk sipil mengungsi ke luar kota seperti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya.

Baca Juga : Negara Asia Tenggara (ASEAN)

Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jalan Japaris, Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru, Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur dan sebagainya menjadi sepi. Dengan demikian, Inggris tidak leluasa bergerak ke luar kota, karena laskar rakyat dan TRI siap menghadangnya.

Hingga akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Pada bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.) dengan Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum.

Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area membawahi laskar Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi. Medan Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub sektor. Markas Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).

Kemudian Belanda mulai mengarahkan kekuatan militernya ke Sumatera dalam rangka mengamankan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Pada awal Oktober 1946 satu batalion pasukan bersenjata dari negeri Belanda mendarat di Medan. Kemudian, beberapa hari diikuti dengan satu batalion KNIL dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda tersebut tidak bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin secepatnya meninggalkan Indonesia.

Semua instasi penting yang ada di Medan Area segera diserahkan pada Komandan Militer Belanda. Selanjutnya, Pasukan Belanda mengambil alih semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan Area. Unit-unit militer Republik baik TRI maupun laskar rakyat segera bereaksi menanggapi pengambilalihan Belanda dan mulai meningkatkan serangannya terhadap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Sampai akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.

Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941 disetujui untuk mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat adalah Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah kota Matsum yang akan jadi sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan akan bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan.

Pada hari “H” ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari “H”, batalyon A resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.

Perlu diketahui, beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan Indonesia menyerang mereka. Gerakan batalyon resimen Laskar Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan Indonesia membalas tembakan dan berhasil menghentikannya.

Baca Juga : Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

Tokoh Pertempuran Medan Area

Berikut ini ada beberapa tokoh pertempuran medan area, diantaraya yaitu:

  • Brigjen. T.E.D. Kelly
  • Ahmad Tahir
  • Teuku Muhammad Hasan (Gubernur Sumatera)
  • Abdul Karim M. S.
  • Dr. Ferdinand Lumbantobing
  • R. Soehardjo Hardjowardojo
  • Jendral Suhardjo Hardjo Wadjojo

Dampak Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area berakhir pada 15 Februari 1947 pukul 24.00 setelah ada perintah dari Komite Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Setelah itu, Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis demarkasi yang definitif untuk Medan Area.

Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkan suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulai pemasangan patok pada garis demarkasi itu.

Namun kedua pihak, Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai garis demarkasi ini. Empat bulan setelah pertempuran ini berakhir, Belanda melaksanakan Operatie Product atau disebut Agresi Militer Belanda I.

Berikut ini dampak akibat dari Pertempuran Medan Area diantaranya yaitu:

  • Terbaginya kawasan Medan oleh garis demarkasi.
  • Perpindahan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera ke Pematang Siantar.

Peran Pemuda dalam Pertempuran Medan Area

Pada Pertempuran Medan Area ini juga, peran pemuda sangat kentara dalam setiap pertempuran. Pada awal bagian jalan pertempuran sebelumnya, terdapat kisah mengenai insiden Jalan Bali. Jika ditilik pada prasasti penanda yang didirikan, nampak bahwa para pemuda yang melakukan penyerbuan ke markas NICA di Gedung Pension Wilhelmina. Selain itu, berbagai laskar rakyat yang ada dibentuk oleh pemuda seperti Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur (Pesindo).

Ada juga organisasi pemuda yang terafiliasi ke partai seperti Napindo (Nasional Pelopor Indonesia) dari PNI, Barisan Merah dari PKI, Hisbullah dari Masyumi dan Pemuda Parkindo dari Parkindo. Selain itu, banyak tokoh pejuang yang berusia dibawah 30 tahun, seperti Brigjend. Bedjo dan Jend. Ahmad Tahir.

Pada saat pertempuran yang terjadi belum terorganisir dengan baik pada tahun 1945-1946, para pemuda selalu yang berada di garis depan dan bertempur dengan heroik melawan Belanda. Semangat para pemuda pulalah yang sering membuat Sekutu, baik Inggris maupun Belanda kerepotan.

Sehingga bisa disimpulkan, peran pemuda dalam Pertempuran Medan Area diantaranya yaitu:

  • Ikut serta dalam setiap pertempuran yang terjadi.
  • Pengobar semangat rakyat untuk bertempur mempertahankan negaranya.
  • Ujung tombak bagi setiap kekuatan pasukan Republik Indonesia.

Baca Juga : Organisasi Bentukan Jepang Di Indonesia

Itulah artikel pembahasan tentang sejarah pertempuran medan area. Semoga bermanfaat